TAREKAT
QADIRIYAH DAN NAQSABANDIYAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Akhlak/Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. H. Syamsudin Yahya
Disusun oleh:
Helmi Abdul Latif (1234110 47)
Khoirul Anwar (1234110 57)
Mifrohatun Nisa' (123411068)
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Tradisi tasawuf telah menanamkan
akar yang fundamental bagi pembentukan karakter dan mentalis kelompok
masyarakat islam di Indonesia. Namun dari sekian banyak tarekat yang ada di
seluruh dunia, hanya ada beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di
Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena faktor kemudahan sistem komunikasi dalam
kegiatan transmisinya.
Tarekat yang masuk di Indonesia
adalah tarekat yang telah populer di Makkah dan Madinah, yaitu Tarekat Qadiriyah
Dan Naqsabandiyah, yang mana dua kota tersebut yang saat itu menjadi pusat
kegiatan di dunia Islam. Faktor lain adalah karena tarekat-tarekat tersebut
dibawa langsung oleh tokoh-tokoh pengembangnya yang umumnya berasal dari Persia
dan India. Beberapa tarekat yang masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad
ke-16/ ke-17 sampai abad ke-19 yaitu : Qadiriyah, Syattariyah, Naqsabandiyah,
Khalwatiyah, Samaniyah, dan Alawiyah. Selain itu juga ada tarekat yang dikenal
dengan sebutan Hadadiyah dan sejenisnya yang muncul berkat kreativitas umat
Islam di Indonesia terutama habib kelompok Arab, periode berikutnya (abad
ke-12) yakni seperti Tijaniyah yang dibawa olehpara jama’ah haji Indonesia.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
asal-usul Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah?
B.
Bagaimana
perkembangan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Indonesia?
C.
Apa
saja ajaran-ajaran dasar tasawuf
dari sudut pandang praktik Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Asa-usul Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah
Di Indonesia banyak terdapat
tarekat-tarekat yang terkenal, dan diantaranya yang paling dikenal dan terbesar
adalah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN). Tarekat ini merupakan
tarekat gabungan dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah. Tarekat ini
dianggap sebagai sebagai tarekat terbesar di pulau Jawa.[1]
Salah satu pusat penyebarannya berada di Jawa barat, yaitu di Pondok Pesantren Suralaya.
Kini anggotanya telah berjuta-juta orang dan tersebar di seluruh tanah air dan
berbagai negara ASEAN, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam.
Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad
Khatib Sambas (1802-1872) yang dikenal sebagai penulis Kitab Fath al-‘Arifin.
Beliau dilahirkan di Sambas sebelah utara Pontianak, Kalimantan Barat
pada tahun 1217/1802. Setelah menyelesaikan pendidikan agama tingkat dasar
di kota asalnya, beliau pergi ke Makkah pada usia sembilan
belas tahun untuk melanjutkan studi dan menetap hingga beliau wafat pada tahun
1872 M.[2] Di kota suci inilah beliau belajar pelbagai ilmu agama Islam hingga
dia menjadi seorang ulama’ besar yang mengajar di Masjidil Haram Makkah. Diantara
para gurunya adalah Syekh Daud ibn Abd Allah ibn Idris al-Fatani, Syekh
Syamsudin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ibn Ali Sanusi (pendiri Tarekat
Sanusiyah), Muhammad Usman al-Mirghani (pendiri Tarekat Khatmiyah), Syekh
Muhammad Shalih Rays, Syekh abd.
al-Hafiz Ajami dan lain-lain. Sedangkan
murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Nawawi al-Bantani, pengarang banyak
kitab agama yang dijuluki sebagai “Sayyid ‘Ulama Hijaz”. Jika melihat latar
belakang pendidikan beliau yang sangat luas dan guru-guru yang ahli dalam
bidangnya apalagi beliau juga menguasai hukum fikih empat madzhab mungkin
menyebabkan beliau mengunakan pendekatan yang menyeluruh untuk memahami
tarekat, walaupun masing-masing pengaruh tidak selalu pada tingkat yang sama.
Menurut Hurgronje, Ahmad Khatib Sambas merupakan seorang pemimpin Tarekat Qadiriyah pada
waktu beliau di Makkah dan Menurut Naquib al-attas, beliau juga sebagai seorang
Syekh dari Tarekat Naqsabandiyah. Sebagai seorang pemimpin tertinggi Tarekat
Qadariyah di Makkah beliau menggantikan gurunya Syekh Syamsudin yang telah
mengangkat Khatib Sambas sebagai seorang Mursyid yang akan menggantikan dirinya
jika wafat.[3]
Menurut Dhofier, Syekh Ahmad Khatib Sambas merupakan seorang syekh
dari dua Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah namun tidak mengajarkan kedua tarekat
tersebut secara terpisah tetapi mengkombinaksikan keduanya, sehingga tarekat
kombinasinya dapat dilihat sebagai sebuah tarekat baru, berbeda dari kedua
tarekat asalnya.[4] Kedua tarekat ini memiliki keunikan
masing-masing. Kemungkinan penggabungan keduanya menjadi satu tarekat dibawah
seorang syekh dapat saja terjadi. Kemungkinan ini didasari oleh berbagai ajaran
dan pengalaman dalam sejarah perkembangannya. Keluwesan ajaran Qadiriyah, yang memungkinkan
seorang murid ketika sudah mencapai maqamat tertinggi seperti gurunya
diperbolehkan menentukan tarekat selanjutnya untuk dikembangkan tanpa terikat
dengan tarekat syekhnya terdahulu, atau dengan kata lain mengizinkan seorang
syekh Qadiriyah untuk memodifikasi
ajaran tarekat lainnya kedalam tarekat baru yang mau dikembangkannya. Keizinan
inilah yang barangkali digunakan oleh khmad Khatib Sambas mengembangkan tarekat
baru bernama Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.
Sebagaimana dikembangkan oleh murid-muridnya di Indonesia terutama
di Jawa pada abad ke 19 M, sebagai seorang syekh Tarekat Qadiriyah beliau
diperbolehkan untuk memodifikasi memodifikasi ajaran tarekat Naqsabandiyah yang
pada saat itu dikembangkan oleh tokohnya Sulaiman Effendi di kota yang sama
(Mekah). Mungkin beliau tertarik dengan “dzikir khafi” Naqsabandiyah yaitu
dzikir dengan diam atau tanpa suara.
Dari segi pengalaman sejarah, perkembanagan penggabungan kedua
trekat tersebut juga tidak dimustahilkan. Sebenarnya, setiap tarekat tersebut
merupakan suatu tarekat hasil modifikasi tokoh pendirinya terhadap ajaran
tarekat-tarekat lainnya. Jika dilihat di sisi ini, sebenarnya “Tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah” yang diajarkan oleh Akhmad Khatib Sambas boleh saja
disebut “Tarekat Sambasiyah” yang juga berinduk pada Tarekat Qadiriyah, namun
karena kealiman beliau ini sehingga beliau merangkaikan menjadi nama tarekat
yang diajarkan kepada para muridnya yang berasal dari Indonesia yaitu Tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah.
Sebagai pemimpin tarekat, syekh Ahmad Sambas menulis sebuah buku
berjudul Fath al-‘Arifin, yang berisi
pedoman praktis bagi para pengikutnya dalam mengamalkan tarekatnya. Dalam kitab
tersebut, terdapat penegasan pengaranya bahwa tarekatnya berdasarkan atas lima
tarekat yaitu : Qadiriyah, Naqsabandiyah, Anfasiyah, Junaiyah, dan Muwafaqah.
Kelima macam tarekat tersebut masing-masing mempunyai keunikan, yang digunakan
tarekat ini.
B.
Perkembangan
Tarekat Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Indonesia
Perkembangan Tarekat Qadiriyah di Indonesia, diperkirakan sejak paruh
kedua abad-19 yaitu sejak tibanya kembali murid syekh Ahmad Khatib Al Sambasi di
tanah air. Di kalimantan barat, daerah asal syekh Khatib Sambas Tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah disebarkan oleh dua muridnya, yaitu syekh Nuruddin (Filipina) dan
syekh Muhammad Saad putra asli Sambas. Karena penyebaran tarekat ini tidak
melalui semacam lembaga pendidikan formal seperti pesantren, maka Tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah hanya tersebar dikalangan orang awam sehingga tidak memperoleh
kemajuan berarti. Sedangkan di pulau Jawa, Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di
sebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para
pengikutnya, maka perkembangannya pesat sekali, sehingga kini merupakan tarekat
yang paling besar dan berpengaruh.
Syekh Abdul Karim dari Banten merupakan
ulama paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Jawa,
beliau merupakan murid kesayangan syekh Ahmad Khatib Al Sambasi Pendiri TQN di
makkah. Beliaulah yang diangkat gurunya untuk mengaggantikan kedudukan tertinggi
Tarekat Qadariyah di Makkah sepeninggalnya pada tahun 1875 M.
Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki banyak
murid dari nusantara karenanya Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah tersebar di
berbagai daerah seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas,Bali, Madura dan Banten[5].
Kecuali Madura semua pengikut Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah
tersebut mendapat bimbingan dari syekh Abdul Karim dan pemimpin Tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah di Madura adalah syekh ‘Abdadmuki putra asli Madura. Syekh Abdul Karim tiba kembali di banten pada
awal tahun 1870an. Sebelumnya beliau mampir di Singapura dalam perjalanan
pulang dari Makkah setelah berguru dengan syekh Ahmad Khatib Sambas. Setibanya di
Banten beliau mendirikan pesantren yang sekaligus dijadikan sebagai pusat
penyebaran TQN di daerah tersebut, karenanya, Tarekat Qadiriyah yang di duga
sudah ada di Banten sejak abad ke 16 M. Dengan kedatangan syekh Hamzah Fansuri di
daerah ini, mendapat angin segar sehingga Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah
berkembang pesat. Malah kedatangan syekh Abdul Karim dari Banten juga berhasil
mempersatukan para ulama dan pesantren di daerah tersebut.
Menurut Dhoifer, lima pondok pesantren di Jawa yang sekarang
menjadi pusat penyebaran TQN di Indonesia yaitu[6]:
1. Pesantren
Pegentongan di Bogor (Jawa Barat)
2.
Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (Jawa Barat)
3.
Pesantren Mranggen di Semarang (Jawa Tengah)
4.
Peantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur)
5.
Pesantren Tebuireng di Jombang (Jawa Timur)
Adapun Pesantren Suryalaya didirikan oleh syekh Abdullah Mubarak
ibn Nur Muhammad pada 7 Rajab 1323 H (5 September 1905 M). Beliau menerima TQN
dari gurunya syekh Ahmad Tolhah di Cirebon, yang menrima dari syekh Abdul Karim
Banten. Setelah merasa tua dan uzur syekh Abdullah Mubarak menyerahkan
kepemimpinan kepada anaknya, syekh A. Sahibulwafa Tadjul ‘Arifin (dikenal
sebagai Abah Anom ). Pada saat kepemimpinan beliau TQN menyebar ke seluruh
Nusantara.
C.
Ajaran-ajaran Dasar Tasawuf dari Sudut Pandang Praktik Tarekat Qadiriyyah
Naqsabandiyyah
1. Zikir
Istilah zikir
pada umumnya diterjemahkan sebagai “mengingat”. Kata zikir terdapat didalam
Al-Qur’an lebih dari empat puluh kali (seperti dalam surat 10:71, 21:48,
21:105, 40:54). Tujuan “ingatan” adalah Tuhan. Seperti dalam surat Al-Baqarah
ayat 152 “Ingatlah Aku, maka Aku akan ingat kamu”. Nabi menyebut zikir sebagai
tindakan ibadah yang terbaik, seperti dalam hadis qudsi berikut: “Aku
sebagaimana prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku ada bersamanya manakala ia
ingat kepada-Ku....” (diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzi).[7]
Zikir juga ditemukan dalam literatur
sufi. Misalnya Ibnu Ata’illah al-Iskandari menulis tentang zikir dalam kitab Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah. “Zikir
adalah pembebasan dari kelalaian dan ketidak ingatan melalui kehadiran hati
yang terus-menerus dengan Tuhan”. Diantara perbuatan kebajikan adalah zikir. “
Semua tindakan ibadah akan lenyap dari hamba di hari kebangkitan, kecuali
zikrullah...”.[8]
Pada Tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah zikir didefinisikan sebagai penyebab pencapaian manusia (wushul) kepada Allah, dan juga penyebab cinta manusia (mahabbah)kepada Allah SWT. Manusia tidak
akan beku hatinya dan dikuasai hawa nafsu amarah, jika ia menikmati berkat
Allah secara terus menerus dengan amalan zikir.
K.H. A. Shohibuwafa Tajul ‘Arifin, yang
akrab dan lebih dikenal Abah Anom (seorang tokoh Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah)
mengatakan, kedua macam zikir harus dilakukan terus-menerus, sebab tujuan zikir
adalah agar hati senantiasa bersama Tuhan. Manfaat zikrullah hadir dalam
membentuk kepercayaan (iman) dan
karakter mulia (akhlaq al-karimah).
Adapun cara untuk ingat kepada Tuhan terus menerus (dzikir dawwam) dapat dilakukan dengan zikir yang diucapkan (dzikr jahr), dan juga dengan zikir yang
ditanam dalam hati dan pikiran (dzikr
khafi), dalam rangka melindungi semua yang diluar dan didalam batin dari
semua godaan setan.[9]
2. Talqin
dan Bai’at
Talqin
adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti instruksi, arahan, atau penanaman.
Talqin sering digunakan bersama dengan kata bai’at,
yang berarti persetujuan atau dapat juga berarti suatu janji kesetiaan pada
seorang Syekh.[10]
Pada
Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, mereka menerima
pengikut baru melalui talqin yang diberikan oleh Syekh. Dalam talqin, bisa
dilakukan secara bersama dan individu. Pada
prosesnya, dijelaskan bahwa zikir seseorang menetap dalam latifat al-qalb, setelah zikir terasa didalamnya, keluarlah cahaya
yang menyinari bawah bahunya menuju keatas, dan seseorang akan merasakan getaran
yang kuat. Kemudian Syekh menalqin lafadz
jalala kedalam latifah al-roh. Setelah
seseorang melakukan dua zikir (keras dan diam) bersama-sama, kemudian disatukan
pandangan batinnya menjadi satu jurusan. Pada saat ini seseorang menutup mata
dan bibirnya, sedangkan hati fokus pada lafz
jalala.Setelah seseorang merasakan kekuatan dan gerak zikir, syaikh
kemudian menalqin lafz jalala kedalam
latifat al-sirr. Kemudian ditalqinkan
lagi lafz jalala kedalam latifah
al-khafi, kemudian latifat al-akhfa.
Kemudian
lafz jalala ini ditanamkan dengan kuat ke seluruh lathaif, sehingga ia menembus
keseluruh anggota badan; yang berarti seluruh anggota badan diisi dengan zikir.
Setelah zikir masuk ke semua anggota tubuh, ia akan masuk ke akar iman[11].
Upacara talqin akhirnya ditutup dengan doa Ilahi
anta maqshudi wa ridhoka mathlubi a’thini mahabbataka wa ma;rifatak.
3. Latha’if
Lathaif adalah
bentuk jama’ dari lathifah, yang berarti titik halus atau bagian badan yang
halus. Setelah zikir terjadi di latifat al-akhfa, zikir berlangsung pada
latifah an-nafs. Setelah zikir mencapai latifah ini, dan lathifah lain telah
diisi dengan zikir, akhirnya zikir berlangsung di lathifah al-jasad dan
lathifah al-qalab, maksudnya ketika zikir telah mengisi seluruh tubuh, kemudian
orang menjadi istiqamah dalam melakukan kebaikan dan merasakan ketentraman
dalam beribadah. [12]
Maqam dari seseorang yang berzikir
ini disebut manifestasi asma-asma dan sifat-sifatNya (tajalli al-asma wa
al-siffat). Pada tahap ini orang akan merasakan selalu dibawah penglihatan
Allah, diamati Allah, dan dibantu oleh Allah. Dengan kata lain, individu
merasakan status kedekatan abadi(taqarrub)pada Tuhan dan dapat disebut manusia
seutuhnya dan sempurna (insan kamil mutakammil). Namun proses zikir bertujuan
untuk mendapat cinta Allah (mahabbah) dan pengetahuan Allah (ma’rifah) harus di
lakukan dengan izindan dibawah instruksi (talqin) seorang syaikh. Secara
keseluruhan seseorang harus terus menerus berjuang dalam zikirnya.
4. Amalan
Spiritual Ikhwan Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah
Ada
berbagai amalan spiritual yang dilakukan oleh pengikut Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah ini; yaitu latihan
wajib rohani sehari-hari (dzikrullah sehari-hari), khataman, manakiban, dan khalwah (praktik penyendirian).[13]
Abah Anom menganggap bahwa khalwah itu cukup dilakukan oleh syaikh.
Bagaimanapun juga jika ada ikhwan yang meminta untuk mengamalkan khalwat, dan
jika ia memenuhi syarat tertentu, Abah Anom mengizinkannya.
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) adalah tarekat gabungan antara Tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah. Pendirinya adalah Ahmad Khatib Sambas yang mana beliau merupakan
pemimpin Tarekat Qadiriyah pada masanya dan seorang syekh dari tarekat
Naqsabandiyah. Dari kedua tarekat tersebut Ahmad Khatib Sambas membentuk
tarekat baru yang bernama TQN.
Perkembangan dan penyebaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di
Indonesia terdapat lima pondok pesantren di Jawa yang sekarang menjadi pusat
penyebaran TQN di Indonesia yaitu Pesantren Pegentongan di Bogor (Jawa Barat),
Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (Jawbua Barat), Pesantren Mranggen di
Semarang (Jawa Tengah), Pesantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur), dan Pesantren
Tebuireng di Jombang (Jawa Timur).
Ajaran-ajaran dasar tasawuf dari sudut pandang
praktik Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah diantaranya adalah sikir, talqin dan
baiat, latha’if dan amalan TQN lainnya seperti latihan wajib
rohani sehari-hari (dzikrullah sehari-hari), khataman, manakiban, dan khalwah (praktik penyendirian).
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila dalam makalah ini terdapat
kesalahan dalam penulisan ataupun yang lainya, penulis mohon maaf. Untuk itu
kami mengharap kritik dan saran guna melengkapi makalah ini. Karena sifat
sempurna hanya milik Allah semata, dan kami hanyalah manusia biasa yang
hakikatnya punya salah dan kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1980.
Anom, Abah, al-akhlaq
al-Karimah, Tasikmalaya: Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya.
1983.
Ata’illah, Ibn, Miftah
al-Falah wa Misbah al-Arwah, Cairo: Shirka Maktabat wa Mathba’at Mushtofa
al-Babi al-Halabi. 1961.
Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah
di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Mulyati, Sri, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah
Naqsabandiyyah dengan Referensi Utama Suralaya, Jakarta: Kencana Perdana
Group, 2010
Mulyati, Sri, Tarekat
Qadriyyah Naqsyabandiyyah Suryalaya, Jakarta: Kencana, 2010.
Nasution, Harun, Thoriqot qodiriyyah Naqsabandiyah, Bandung : IAILM Tasikmalaya, 1990.
[3] Hawash
Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1980, hlm. 177
[5]
Hawash
Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya:
Al-Ikhlas, 1980, hlm. 180
[6]
Prof. Dr. Harun Nasution , Thoriqot qodiriyyah
Naqsabandiyah, Bandung : IAILM Tasikmalaya, 1990, hlm. 85-88
[7] Dr. Hj. Sri
Mulyati, Tarekat Qadriyyah
Naqsyabandiyyah Suryalaya, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 105
[8] Ibn Ata’illah,
Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, Cairo:
Shirka Maktabat wa Mathba’at Mushtofa al-Babi al-Halabi, 1961, hlm. 31
[9] Abah Anom, al-akhlaq al-Karimah, Tasikmalaya:
Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, 1983, hlm. 17
[10] Dr. Hj. Sri
Mulyati, Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah
Suryalaya, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 112-113
[11] Syekh Ahmad
Khatib Sambas, Fath al-‘Arifin 3-5
[12] Dr. Hj. Sri
Mulyati, Tarekat Qadriyyah
Naqsyabandiyyah Suryalaay, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 126-127
[13] Dr. Hj. Sri
Mulyati, Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah
Suryalaya, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar