Jumat, 12 Juni 2015

Makalah Akhlak/Tasawuf (Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah)




TAREKAT QADIRIYAH DAN NAQSABANDIYAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas  
Mata Kuliah: Akhlak/Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. H. Syamsudin Yahya



 

 
Disusun oleh:
               Helmi  Abdul Latif                   (1234110 47)
               Khoirul Anwar                        (1234110 57)
                                                   Mifrohatun Nisa'                      (123411068)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
       I.            PENDAHULUAN
Tradisi tasawuf telah menanamkan akar yang fundamental bagi pembentukan karakter dan mentalis kelompok masyarakat islam di Indonesia. Namun dari sekian banyak tarekat yang ada di seluruh dunia, hanya ada beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena faktor kemudahan sistem komunikasi dalam kegiatan transmisinya.
Tarekat yang masuk di Indonesia adalah tarekat yang telah populer di Makkah dan Madinah, yaitu Tarekat Qadiriyah Dan Naqsabandiyah, yang mana dua kota tersebut yang saat itu menjadi pusat kegiatan di dunia Islam. Faktor lain adalah karena tarekat-tarekat tersebut dibawa langsung oleh tokoh-tokoh pengembangnya yang umumnya berasal dari Persia dan India. Beberapa tarekat yang masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad ke-16/ ke-17 sampai abad ke-19 yaitu : Qadiriyah, Syattariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, Samaniyah, dan Alawiyah. Selain itu juga ada tarekat yang dikenal dengan sebutan Hadadiyah dan sejenisnya yang muncul berkat kreativitas umat Islam di Indonesia terutama habib kelompok Arab, periode berikutnya (abad ke-12) yakni seperti Tijaniyah yang dibawa olehpara jama’ah haji Indonesia.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimana asal-usul Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah?
B.       Bagaimana perkembangan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Indonesia?
C.       Apa saja ajaran-ajaran dasar tasawuf dari sudut pandang praktik Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah?


 III.            PEMBAHASAN
A.    Asa-usul Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah
Di Indonesia banyak terdapat tarekat-tarekat yang terkenal, dan diantaranya yang paling dikenal dan terbesar adalah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN). Tarekat ini merupakan tarekat gabungan dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah. Tarekat ini dianggap sebagai sebagai tarekat terbesar di pulau Jawa.[1] Salah satu pusat penyebarannya berada di Jawa barat, yaitu di Pondok Pesantren Suralaya. Kini anggotanya telah berjuta-juta orang dan tersebar di seluruh tanah air dan berbagai negara ASEAN, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam.
Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872) yang dikenal sebagai penulis Kitab Fath al-‘Arifin. Beliau dilahirkan di Sambas sebelah utara Pontianak, Kalimantan Barat pada tahun 1217/1802.  Setelah menyelesaikan pendidikan agama tingkat dasar di kota asalnya, beliau pergi ke Makkah pada usia sembilan belas tahun untuk melanjutkan studi dan menetap hingga beliau wafat pada tahun 1872 M.[2] Di kota suci inilah beliau belajar pelbagai ilmu agama Islam hingga dia menjadi seorang ulama’ besar yang mengajar di Masjidil Haram Makkah. Diantara para gurunya adalah Syekh Daud ibn Abd Allah ibn Idris al-Fatani, Syekh Syamsudin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ibn Ali Sanusi (pendiri Tarekat Sanusiyah), Muhammad Usman al-Mirghani (pendiri Tarekat Khatmiyah), Syekh Muhammad Shalih  Rays, Syekh abd. al-Hafiz Ajami dan lain-lain.  Sedangkan murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Nawawi al-Bantani, pengarang banyak kitab agama yang dijuluki sebagai “Sayyid ‘Ulama Hijaz”. Jika melihat latar belakang pendidikan beliau yang sangat luas dan guru-guru yang ahli dalam bidangnya apalagi beliau juga menguasai hukum fikih empat madzhab mungkin menyebabkan beliau mengunakan pendekatan yang menyeluruh untuk memahami tarekat, walaupun masing-masing pengaruh tidak selalu pada tingkat yang sama.
Menurut Hurgronje, Ahmad Khatib Sambas  merupakan seorang pemimpin Tarekat Qadiriyah pada waktu beliau di Makkah dan Menurut Naquib al-attas, beliau juga sebagai seorang Syekh dari Tarekat Naqsabandiyah. Sebagai seorang pemimpin tertinggi Tarekat Qadariyah di Makkah beliau menggantikan gurunya Syekh Syamsudin yang telah mengangkat Khatib Sambas sebagai seorang Mursyid yang akan menggantikan dirinya jika wafat.[3]
Menurut Dhofier, Syekh Ahmad Khatib Sambas merupakan seorang syekh dari dua Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah namun tidak mengajarkan kedua tarekat tersebut secara terpisah tetapi mengkombinaksikan keduanya, sehingga tarekat kombinasinya dapat dilihat sebagai sebuah tarekat baru, berbeda dari kedua tarekat asalnya.[4] Kedua tarekat ini memiliki keunikan masing-masing. Kemungkinan penggabungan keduanya menjadi satu tarekat dibawah seorang syekh dapat saja terjadi. Kemungkinan ini didasari oleh berbagai ajaran dan pengalaman dalam sejarah perkembangannya. Keluwesan ajaran Qadiriyah, yang memungkinkan seorang murid ketika sudah mencapai maqamat tertinggi seperti gurunya diperbolehkan menentukan tarekat selanjutnya untuk dikembangkan tanpa terikat dengan tarekat syekhnya terdahulu, atau dengan kata lain mengizinkan seorang syekh Qadiriyah untuk  memodifikasi ajaran tarekat lainnya kedalam tarekat baru yang mau dikembangkannya. Keizinan inilah yang barangkali digunakan oleh khmad Khatib Sambas mengembangkan tarekat baru bernama Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.
Sebagaimana dikembangkan oleh murid-muridnya di Indonesia terutama di Jawa pada abad ke 19 M, sebagai seorang syekh Tarekat Qadiriyah beliau diperbolehkan untuk memodifikasi memodifikasi ajaran tarekat Naqsabandiyah yang pada saat itu dikembangkan oleh tokohnya Sulaiman Effendi di kota yang sama (Mekah). Mungkin beliau tertarik dengan “dzikir khafi” Naqsabandiyah yaitu dzikir dengan diam atau tanpa suara.
Dari segi pengalaman sejarah, perkembanagan penggabungan kedua trekat tersebut juga tidak dimustahilkan. Sebenarnya, setiap tarekat tersebut merupakan suatu tarekat hasil modifikasi tokoh pendirinya terhadap ajaran tarekat-tarekat lainnya. Jika dilihat di sisi ini, sebenarnya “Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah” yang diajarkan oleh Akhmad Khatib Sambas boleh saja disebut “Tarekat Sambasiyah” yang juga berinduk pada Tarekat Qadiriyah, namun karena kealiman beliau ini sehingga beliau merangkaikan menjadi nama tarekat yang diajarkan kepada para muridnya yang berasal dari Indonesia yaitu Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.
Sebagai pemimpin tarekat, syekh Ahmad Sambas menulis sebuah buku berjudul Fath al-‘Arifin, yang berisi pedoman praktis bagi para pengikutnya dalam mengamalkan tarekatnya. Dalam kitab tersebut, terdapat penegasan pengaranya bahwa tarekatnya berdasarkan atas lima tarekat yaitu : Qadiriyah, Naqsabandiyah, Anfasiyah, Junaiyah, dan Muwafaqah. Kelima macam tarekat tersebut masing-masing mempunyai keunikan, yang digunakan tarekat ini.

B.     Perkembangan Tarekat Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Indonesia
Perkembangan Tarekat Qadiriyah di Indonesia, diperkirakan sejak paruh kedua abad-19 yaitu sejak tibanya kembali murid syekh Ahmad Khatib Al Sambasi di tanah air. Di kalimantan barat, daerah asal syekh Khatib Sambas Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah disebarkan oleh dua muridnya, yaitu syekh Nuruddin (Filipina) dan syekh Muhammad Saad putra asli Sambas. Karena penyebaran tarekat ini tidak melalui semacam lembaga pendidikan formal seperti pesantren, maka Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah hanya tersebar dikalangan orang awam sehingga tidak memperoleh kemajuan berarti. Sedangkan di pulau Jawa, Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di sebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya, maka perkembangannya pesat sekali, sehingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan berpengaruh.
      Syekh Abdul Karim dari Banten merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Jawa, beliau merupakan murid kesayangan syekh Ahmad Khatib Al Sambasi Pendiri TQN di makkah. Beliaulah yang diangkat gurunya untuk mengaggantikan kedudukan tertinggi Tarekat Qadariyah di Makkah sepeninggalnya pada tahun 1875 M.
      Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki banyak murid dari nusantara karenanya Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah tersebar di berbagai daerah seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas,Bali, Madura dan Banten[5]. Kecuali Madura semua pengikut Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah tersebut mendapat bimbingan dari syekh Abdul Karim dan pemimpin Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Madura adalah syekh ‘Abdadmuki putra asli Madura.  Syekh Abdul Karim tiba kembali di banten pada awal tahun 1870an. Sebelumnya beliau mampir di Singapura dalam perjalanan pulang dari Makkah setelah berguru dengan syekh Ahmad Khatib Sambas. Setibanya di Banten beliau mendirikan pesantren yang sekaligus dijadikan sebagai pusat penyebaran TQN di daerah tersebut, karenanya, Tarekat Qadiriyah yang di duga sudah ada di Banten sejak abad ke 16 M. Dengan kedatangan syekh Hamzah Fansuri di daerah ini, mendapat angin segar sehingga Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah berkembang pesat. Malah kedatangan syekh Abdul Karim dari Banten juga berhasil mempersatukan para ulama dan pesantren di daerah tersebut.   
Menurut Dhoifer, lima pondok pesantren di Jawa yang sekarang menjadi pusat penyebaran TQN di Indonesia yaitu[6]:
1. Pesantren Pegentongan di Bogor (Jawa Barat)
2. Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (Jawa Barat)
3. Pesantren Mranggen di Semarang (Jawa Tengah)
4. Peantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur)
5. Pesantren Tebuireng di Jombang (Jawa Timur)
Adapun Pesantren Suryalaya didirikan oleh syekh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad pada 7 Rajab 1323 H (5 September 1905 M). Beliau menerima TQN dari gurunya syekh Ahmad Tolhah di Cirebon, yang menrima dari syekh Abdul Karim Banten. Setelah merasa tua dan uzur syekh Abdullah Mubarak menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, syekh A. Sahibulwafa Tadjul ‘Arifin (dikenal sebagai Abah Anom ). Pada saat kepemimpinan beliau TQN menyebar ke seluruh Nusantara.

C.     Ajaran-ajaran Dasar Tasawuf dari Sudut Pandang Praktik Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah
1.      Zikir
Istilah zikir pada umumnya diterjemahkan sebagai “mengingat”. Kata zikir terdapat didalam Al-Qur’an lebih dari empat puluh kali (seperti dalam surat 10:71, 21:48, 21:105, 40:54). Tujuan “ingatan” adalah Tuhan. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 152 “Ingatlah Aku, maka Aku akan ingat kamu”. Nabi menyebut zikir sebagai tindakan ibadah yang terbaik, seperti dalam hadis qudsi berikut: “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku ada bersamanya manakala ia ingat kepada-Ku....” (diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzi).[7]
            Zikir juga ditemukan dalam literatur sufi. Misalnya Ibnu Ata’illah al-Iskandari menulis tentang zikir dalam kitab Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah. “Zikir adalah pembebasan dari kelalaian dan ketidak ingatan melalui kehadiran hati yang terus-menerus dengan Tuhan”. Diantara perbuatan kebajikan adalah zikir. “ Semua tindakan ibadah akan lenyap dari hamba di hari kebangkitan, kecuali zikrullah...”.[8]
            Pada Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah zikir didefinisikan sebagai  penyebab pencapaian manusia (wushul) kepada Allah, dan juga penyebab cinta manusia (mahabbah)kepada Allah SWT. Manusia tidak akan beku hatinya dan dikuasai hawa nafsu amarah, jika ia menikmati berkat Allah secara terus menerus dengan amalan zikir.
K.H. A. Shohibuwafa Tajul ‘Arifin, yang akrab dan lebih dikenal Abah Anom (seorang tokoh Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah) mengatakan, kedua macam zikir harus dilakukan terus-menerus, sebab tujuan zikir adalah agar hati senantiasa bersama Tuhan. Manfaat zikrullah hadir dalam membentuk kepercayaan (iman) dan karakter mulia (akhlaq al-karimah). Adapun cara untuk ingat kepada Tuhan terus menerus (dzikir dawwam) dapat dilakukan dengan zikir yang diucapkan (dzikr jahr), dan juga dengan zikir yang ditanam dalam hati dan pikiran (dzikr khafi), dalam rangka melindungi semua yang diluar dan didalam batin dari semua godaan setan.[9]
2.      Talqin dan Bai’at
Talqin adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti instruksi, arahan, atau penanaman. Talqin sering digunakan bersama dengan kata bai’at, yang berarti persetujuan atau dapat juga berarti suatu janji kesetiaan pada seorang Syekh.[10]
Pada Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, mereka menerima pengikut baru melalui talqin yang diberikan oleh Syekh. Dalam talqin, bisa dilakukan secara bersama dan individu.    Pada prosesnya, dijelaskan bahwa zikir seseorang menetap dalam latifat al-qalb, setelah zikir terasa didalamnya, keluarlah cahaya yang menyinari bawah bahunya menuju keatas, dan seseorang akan merasakan getaran yang kuat. Kemudian Syekh menalqin lafadz jalala kedalam latifah al-roh. Setelah seseorang melakukan dua zikir (keras dan diam) bersama-sama, kemudian disatukan pandangan batinnya menjadi satu jurusan. Pada saat ini seseorang menutup mata dan bibirnya, sedangkan hati fokus pada lafz jalala.Setelah seseorang merasakan kekuatan dan gerak zikir, syaikh kemudian menalqin lafz jalala kedalam latifat al-sirr. Kemudian ditalqinkan lagi lafz jalala kedalam latifah al-khafi, kemudian latifat al-akhfa.
Kemudian lafz jalala ini ditanamkan dengan kuat ke seluruh lathaif, sehingga ia menembus keseluruh anggota badan; yang berarti seluruh anggota badan diisi dengan zikir. Setelah zikir masuk ke semua anggota tubuh, ia akan masuk ke akar iman[11]. Upacara talqin akhirnya ditutup dengan doa Ilahi anta maqshudi wa ridhoka mathlubi a’thini mahabbataka wa ma;rifatak.

3.      Latha’if
Lathaif adalah bentuk jama’ dari lathifah, yang berarti titik halus atau bagian badan yang halus. Setelah zikir terjadi di latifat al-akhfa, zikir berlangsung pada latifah an-nafs. Setelah zikir mencapai latifah ini, dan lathifah lain telah diisi dengan zikir, akhirnya zikir berlangsung di lathifah al-jasad dan lathifah al-qalab, maksudnya ketika zikir telah mengisi seluruh tubuh, kemudian orang menjadi istiqamah dalam melakukan kebaikan dan merasakan ketentraman dalam beribadah. [12]
            Maqam dari seseorang yang berzikir ini disebut manifestasi asma-asma dan sifat-sifatNya (tajalli al-asma wa al-siffat). Pada tahap ini orang akan merasakan selalu dibawah penglihatan Allah, diamati Allah, dan dibantu oleh Allah. Dengan kata lain, individu merasakan status kedekatan abadi(taqarrub)pada Tuhan dan dapat disebut manusia seutuhnya dan sempurna (insan kamil mutakammil). Namun proses zikir bertujuan untuk mendapat cinta Allah (mahabbah) dan pengetahuan Allah (ma’rifah) harus di lakukan dengan izindan dibawah instruksi (talqin) seorang syaikh. Secara keseluruhan seseorang harus terus menerus berjuang dalam zikirnya.
4.      Amalan Spiritual Ikhwan Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah
Ada berbagai amalan spiritual yang dilakukan oleh pengikut Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah ini; yaitu latihan wajib rohani sehari-hari (dzikrullah sehari-hari), khataman, manakiban, dan khalwah (praktik penyendirian).[13] Abah Anom menganggap bahwa khalwah itu cukup dilakukan oleh syaikh. Bagaimanapun juga jika ada ikhwan yang meminta untuk mengamalkan khalwat, dan jika ia memenuhi syarat tertentu, Abah Anom mengizinkannya.

 IV.            PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) adalah tarekat gabungan antara Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Pendirinya adalah Ahmad Khatib Sambas yang mana beliau merupakan pemimpin Tarekat Qadiriyah pada masanya dan seorang syekh dari tarekat Naqsabandiyah. Dari kedua tarekat tersebut Ahmad Khatib Sambas membentuk tarekat baru yang bernama TQN.
Perkembangan dan penyebaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Indonesia terdapat lima pondok pesantren di Jawa yang sekarang menjadi pusat penyebaran TQN di Indonesia yaitu Pesantren Pegentongan di Bogor (Jawa Barat), Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (Jawbua Barat), Pesantren Mranggen di Semarang (Jawa Tengah), Pesantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur), dan Pesantren Tebuireng di Jombang (Jawa Timur).
Ajaran-ajaran dasar tasawuf dari sudut pandang praktik Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah diantaranya adalah sikir, talqin dan baiat, latha’if dan amalan TQN lainnya seperti latihan wajib rohani sehari-hari (dzikrullah sehari-hari), khataman, manakiban, dan khalwah (praktik penyendirian).

B.     Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun yang lainya, penulis mohon maaf. Untuk itu kami mengharap kritik dan saran guna melengkapi makalah ini. Karena sifat sempurna hanya milik Allah semata, dan kami hanyalah manusia biasa yang hakikatnya punya salah dan kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.






















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980.
Anom, Abah, al-akhlaq al-Karimah, Tasikmalaya: Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. 1983.
Ata’illah, Ibn, Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, Cairo: Shirka Maktabat wa Mathba’at Mushtofa al-Babi al-Halabi. 1961.
Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Mulyati, Sri, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah dengan Referensi Utama Suralaya, Jakarta: Kencana Perdana Group, 2010
Mulyati, Sri, Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah Suryalaya, Jakarta: Kencana, 2010.
Nasution, Harun, Thoriqot qodiriyyah Naqsabandiyah, Bandung : IAILM Tasikmalaya, 1990.



  



                [1]Prof. Dr. Harun Nasution , Thoriqot qodiriyyah Naqsabandiyah, Bandung : IAILM Tasikmalaya, 1990, hlm. 57.   
                [2]Dr. Hj. Sri Mulyati, M.A., Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah dengan Referensi Utama Suralaya, Jakarta: Kencana Perdana Group, 2010, hlm. 36.
[3] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980, hlm. 177
                [4] Dr. Hj. Sri Mulyati, M.A., Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah dengan Referensi Utama Suralaya, Jakarta: Kencana Perdana Group, 2010, hlm. 39
[5] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980, hlm. 180
[6] Prof. Dr. Harun Nasution , Thoriqot qodiriyyah Naqsabandiyah, Bandung : IAILM Tasikmalaya, 1990, hlm. 85-88
[7] Dr. Hj. Sri Mulyati, Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah Suryalaya, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 105
[8] Ibn Ata’illah, Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, Cairo: Shirka Maktabat wa Mathba’at Mushtofa al-Babi al-Halabi, 1961, hlm. 31
[9] Abah Anom, al-akhlaq al-Karimah, Tasikmalaya: Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, 1983, hlm. 17
[10] Dr. Hj. Sri Mulyati, Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah Suryalaya, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 112-113
[11] Syekh Ahmad Khatib Sambas, Fath al-‘Arifin 3-5
[12] Dr. Hj. Sri Mulyati, Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah Suryalaay, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 126-127
[13] Dr. Hj. Sri Mulyati, Tarekat Qadriyyah Naqsyabandiyyah Suryalaya, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar