Jumat, 12 Juni 2015

Makalah Akhlak/Tasawuf (Tasawuf Irfani)





TASAWUF FALSAFI

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Akhlaq Tasawuf
Dosen Pengampu: Drs. H. Syamsudin Yahya



Description: D:\Holy Dita P\Campus\Other\logo-uin-walisongo.jpg



Disusun oleh:
Dodit Adi Cahyono(1234110)
Durrotun Nasikha (1234110)
Ida Nurhidayah (123411049)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
 




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Timbulnya tasawuf dalam islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammmad SAW di utus menjadi rasul untuk segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali tahnuts dan Khalwat di gua Hira, disamping untuk mengasingkan diri dan kehidupan masyarakat Mekah yang sibuk dengan hal-hal yang menghinggapi masyarakat disekitarnya pada waktu itu.
Kecendrungan yang seperti inilah yang diikuti oleh orang-orang sufi, mereka berusaha untuk mendekatkan diri serta meninggikan cintanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pengalaman religius orang sufi sangat berbeda jauh dengan pengalaman religius dengan orang biasa (awam), pengalaman religius mereka dapat menghantarkan kepada ma’rifah Tuhanya. Orang sufi untuk mencapai tingkatan pengalaman religius tertinggi itu tidak hanya dialami oleh kaum laki-laki saja, tetapi dapat pula dicapal oleh kaum wanita , yang salah satu diantaranya adalah Rabiah Al Adawiyah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Tasawuf Irfani?
2.      Siapa saja tokoh dalam Tasawuf Irfani?




 


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Irfani
Secara Etimologis , kata ‘irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal atau pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentikkan dengan ma’rifat sufistik. Orang yang ‘irfan/ma’rifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). [1]
Menurut Cecep Alba pengertian Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena seorang sufi berupaya melakukan tasfiyat al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan, sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham.[2]
Sebagai sebuah ilmu, ‘irfan  memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoretis. Aspek praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika, bagian praktis ini juga disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Sementara itu, irfan teoretis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta.
Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat di kalangan sufi dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri. Sementara Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara intens.


B.     Tokoh-Tokoh dalam Tasawuf Irfani
1.      Rabi’ah Al-Adawiyah Al-Mahabbah (Al-Hubb Al-Ilahi)
Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah binti Ismail Al Adawiyah Al Bashriyah Al Qaisiyah. Para ahli sejarah memperkirakan Rabiah Al Adawiyah lahir sekitar tahun 95H atau 96 11/713 M. Ia dilahirkan di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu. Ada yang mengatakan bahwa rabiah wafat tahun 135 H dan adapula yangmengatakan tahun 18511)801 M.
Rabi’ah Adawiyah adalah salah seorang perampuan Sufi yang mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Seorang wanita yang alur kehidupannya tidak seperti wanita pada umumnya, Ia terisolasi dalam dunia mistisme jauh dan hal-hal duniawi. Tidak ada sesuatu yang Iebih dicintainya di dunia yang melebihi cintanya kepada Allah. Kehidupannya seolah hanya untuk mendapatkan ridho Allah, tidak ada suatu tujuan apapun selain itu.
Rabiah Al-adawiyah dilahirkan ditengah keluarga miskin. Seisi rumahnya hanya dapat ditemukan barang yang memang benar-benar diperlukan saja bahkan konon mereka tidak memiliki setetes minyak (sejenis minyak telon) saja untuk menghangatkan perut anaknya, mereka tidak memiliki lampu untuk menerangi rumahnya. Ayahnya hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Ayah Rabiah Adawiyah pantang untuk meminta-minta kepada orang lain walaupun kondisi ekonominya ditengah kehancuran dan mendekati kesengsaraan.
Ayah Rabiah bernama Ismail, nama yang tidak begitu dikenal di wilayahnya, jauh dari keheidupan gemerlap kota Basra yang saat itu merupakan kota besar. Lebih baik mati dariipada hidup meminta-minta kepada orang lain bagi Ayah Rabiah Adawiyah. Prinsip yang melekat dalam diri Ayah Rabiah selaku suami dari istri yang memiliki empat anak ini begitu kuat.  Sang suami selalu yakin bahwa pertolongan Allah akan segera datang, Allah tidak pernah tertidur, Allah selalu akan menjaga dan melindungi istrii dan anak-anaknya.
Hingga suatu ketika isterinya yang malang menangis sedih atas keadaan keluarganya yang serba memprihatinkan lni. Dalam keadaan yang demikian itu sang istri mengeluh kepada sang suami. Sang suami hanya dapat menundukan kepala ke atas lutut hingga akhirnya ia terlena dalam tidumya. Di dalam tidumya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya “Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”. Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘ Gubernur Bashrah, isa az-Zadan dan tuliskan kata-kata berikut ini diatas sehelai kertas putih : ‘Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam Jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagal penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’”. Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabiah mengucurkan air mata seraya bersyukur kepada Allah karena ia yakin bahwa mimpinya adalah benar dan merupakan petunjuk dari Allah bagi hambanya yang beriman. Ia pun segera menjalankan petunjuk sebagaimana yang diperintahkan Nabi dalam mimpinya, ia menulis dan mengirimkannya tulisannya kepada gubernur melalui pengurus rumah tangga istana. Tidak lama setelah sang Gubernur mambaca surat tersebut, sang gubernur langsung mengirim utusannya untuk membagikan uang masing-masing dua ribu dinar kepada orang-orang miskin.
Seolah terhanyut dalam kebahagian dan sebagai bentuk ungkapan nasa syukur karena sang gubemur merasa bahwa dia adalah orang yang istimewa di mata nabi maka ia memberikan hadiah sang empat ribu dinar kepada ayah Rabiah Adawiyah pada awalnya. Namun, setelah beberapa saat sang gubernur merasa tidak pantas hanya menghadiahkan uang dalam jumlah tersebut kepada kekasih Allah. Sang gubernur pun berjanji akan memberikan apapun yang dibutuhkan ayah Rabiah Adawiyah. Kemudian sang gubernur pergi menemui Ayah dirumahnya dan membicarakan semua yang telah ia janjikan bagi ayah Rabiah Adawiyah. Amir itu meminta supaya bapak Rabi’atul-adawiyyah selalu mengunjungi beliau apabila menginginkan sesuatu karena beliau merasa beruntung kedatangan orang yang dekat dengan Allah.
Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia rabi’ah Adawiyah di jual sebagai budak. Tetapi pada akhirnya ia memperoleh kemerdekaan, menurut orang yang memilikinya, ia mempunyai cahaya diatas kepalanya sewaktu ia beribadah, yang dapat menerangi seluruh ruangan rumah. Setelah di bebaskan ia pergi menyendiri ke padang pasir dan memilih hidup zahid.
Diceritakan suatu hari, tatkala beliau pergi ke satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah dikejar oleh orang jahat beliau lari. Tetapi malang, kakinya tergelincir dan jatuh. Tangannya patah. Beliau berdoa kepada Allah, “Ya Allah! Aku ini orang yatim dan abdi. Sekarang tanganku pula patah. tetapi aku tidak peduli segala itu asalkan Kau rida denganku. tetapi nyatakanlah keridaanMu itu padaku.” Tatkala itu terdengarlah suatu suara malaikat, “Tak mengapa semua penderitaanmu itu. Di hari akhirat kelak kamu akan ditempatkan di peringkat yang tinggi hingga akan Malaikat pun keheranan melihatmu.” Kemudian pergilah ia kembali kepada tuannya. Setelah peristiwa itu, setiap malam Ia menghabiskan waktunya dengan beribadah kepada Allah, setelah melakukan pekerjaannya. Beliau berpuasa berhari-hari. Suatu hari, tuannya mendengar suara rayuan Rabi’atul adawiyyah di tengah malam yang berdoa kepada Allah: “Tuhanku! Engkau lebih  tahu bagaimana aku ingin melaksanakan perintah-perintahMu dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa, wahai cahaya mataku, Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh masa malam dan siang dengan melakukan ibadat kepadaMu. Tetapi apa yang boleh aku perbuat kerana Kau jadikan aku hamba kepada manusia.” Tuannya melihat cahaya terang dalam bilik Rabi’atul-adawiyyah itu, dan cahaya itu meliputi seluruh biliknya. Pada waktu itu juga tuannya merasa berdosa jika tidak membebaskan orang yang begitu dekat dengan Tuhannya. Sebaliknya tuan itu pula ingin menjadi khadam kepada Rabi’atul-adawiyyah. Esoknya, Rabi’atul-adawiyyah pun dipanggil oleh tuannya dan diberitahunya tentang keputusannya hendak menjadi khadam itu dan Rabi’atul-adawlyyah menjadi tuan rumah atau pun jika Ia tidak sudi bolehlah ia meninggalkan rumah itu. Rabi’atul-adawiyyah berkata bahwa ia ingin mengasingkan dirinya dan meninggalkan rumah itu. Tuannya setuju. Rabi’atul-adawiyyah pun pergi. Suatu ketika Rabi’atul-adawyyah pergi naik haji ke Mekkah. Dibawanya barang-barangnya di atas seekor keledai yang telah tua. Keledai itu mati di tengah jalan. Teman-temanya setuju hendak membawa barang -barangnya itu tetapi beliau enggan kerana katanya dia naik haji bukan di bawah perlindungan orang. Hanya perlindungan Allah SWT. Beliau pun tinggal seorang diri di situ. Rabi’atuladawiyyah terus berdoa, “Oh Tuhan sekalian alam, aku ini sendiri, lemah dan tidak berdaya. Engkau juga yang menyuruhku pergi mengunjungi Ka ‘bah dan sekarang Engkau matikan keledaiku dan membiarkan aku sendirian di tengah jalan.” Serta-merta dengan tidak disangka-sangka keledai itu pun hidup kembali. Diletaknya barang-barangnya di atas keledai itu dan terus menuju Mekkah. Sesampainya di Ka’bah, beliau pun duduk dan berdoa, “Aku mi hanya sekepal tanah dan Ka ‘bah itu rumah yang kuat.
2.      Dzu An-Nun Al-Misri
Dzu An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi orang sufi yang tinggal disekitar pertengahan abad ketiga hijriyah. Nama lengkapnya Abu Alfaidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir pada tahun 180 H./796 M. Julukan Dzn an-Nun diberikan kepadanya sehubungan kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya dia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula al-Misri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalanan hidupnya al-Misri selalu berpindah dari suatu tempat ketempat yang lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah dimesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Bagdad, Makkah, Hijaz, Syiria dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkanya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu Fiqih, ilmu Hadis dan guru sufi sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hambal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits dan lain-lainnya.
Sebelum al-Misri sebenarnya sudah ada guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberikan tafsiran terhadap isarat-isarat tasawuf. Ia pun orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqomat para wali dan orang yang pertama memberi devinisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Sehingga banyak penulis yang menyebutkan al-Misri sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Al-Misri seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanianya itulah yang menyebabkan harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindik. Akibatnya ia dipanggil menghadap Khalifah Al-Mutawakil, namun ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan kedudukanya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana ini. Dzu An-Nun Al-Misri wafat pada tahun 246 M/ 856 H.

3.      Abu Yazid Al-Bustami
a.        Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Sejaka dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada  orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat Al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.[3]
b.      Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata ‘faniya’, yang berate musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendefinisikannya, “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, ak mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebi besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu...”
Jalan menuju fana’, manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan menjawab,”Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata ‘fana’ pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتَّى فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
Dalam menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi menyatakan,
“Barangsiapa meninggalkan perbuatan perbuatan tercela, maka ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah;...Barangsiapa ynag hatinya zuhud dari keduniaan, maka ia sedang fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya...”
Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakan karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis.[4]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad,”identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Dengan fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya. Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.[5]
4.      Abu Manshur Al-Hallaj
a.          Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.

b.      Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembang Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu denga Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Secara Etimologis , kata ‘irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal atau pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentikkan dengan ma’rifat sufistik. Menurut Cecep Alba pengertian Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah).
Diantara tokoh-tokoh Tasawuf irfani adalah Rabi’atul Adawiyah, Dzu An-Nun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, dan Abu Manshur Al-Hallaj.

B.     Kritik dan Saran
Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam penulisan maupun dalam cara penyampaian. Untuk itu, kami  mohon kritik dan sarannya untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, 2010, Fulsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Isa, Ahmad, 2001, Tokoh-tokoh Sufi Tauladan kehidupan yang saleh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasirudin, 2009, Pendidikan Tasawuf, Semarang: Rasail Media Group.
Solihin dkk, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.












[1] M.Sholihin & Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 2008).hlm.145

[2] Cecep Alba. Tasawuf dan Tarekat. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012). Hlm. 92
[3]. Drs. Rosihon Anwar, M. Ag, Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf,  Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2000, hlm. 130-131.
[4]. Drs. Rosihon Anwar, M. Ag, Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf,  Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2000, hlm. 131-133.
[5] . Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag, Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2008, hlm. 62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar