TASAWUF
FALSAFI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Akhlaq Tasawuf
Dosen Pengampu: Drs. H. Syamsudin
Yahya

Disusun oleh:
Dodit Adi
Cahyono(1234110)
Durrotun Nasikha
(1234110)
Ida Nurhidayah
(123411049)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Timbulnya
tasawuf dalam islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu
semenjak Nabi Muhammmad SAW di utus menjadi rasul untuk segenap umat manusia
dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Muhammad
sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali tahnuts dan Khalwat di gua
Hira, disamping untuk mengasingkan diri dan kehidupan masyarakat Mekah yang
sibuk dengan hal-hal yang menghinggapi masyarakat disekitarnya pada waktu itu.
Kecendrungan
yang seperti inilah yang diikuti oleh orang-orang sufi, mereka berusaha untuk
mendekatkan diri serta meninggikan cintanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pengalaman
religius orang sufi sangat berbeda jauh dengan pengalaman religius dengan orang
biasa (awam), pengalaman religius mereka dapat menghantarkan kepada ma’rifah
Tuhanya. Orang sufi untuk mencapai tingkatan pengalaman religius tertinggi itu
tidak hanya dialami oleh kaum laki-laki saja, tetapi dapat pula dicapal oleh
kaum wanita , yang salah satu diantaranya adalah Rabiah Al Adawiyah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Tasawuf Irfani?
2.
Siapa
saja tokoh dalam Tasawuf Irfani?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf Irfani
Secara
Etimologis , kata ‘irfan merupakan
kata jadian (mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal atau pengenalan).
Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentikkan
dengan ma’rifat sufistik. Orang yang ‘irfan/ma’rifat kepada Allah adalah yang
benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan
kasyf (ketersingkapan). [1]
Menurut Cecep
Alba pengertian Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat
kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau
pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena
seorang sufi berupaya melakukan tasfiyat
al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batini
dengan Tuhan, sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah ke dalam
hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham.[2]
Sebagai sebuah
ilmu, ‘irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan
aspek teoretis. Aspek praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan
pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu
praktis, bagian ini menyerupai etika, bagian praktis ini juga disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani).
Sementara itu, irfan teoretis
memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud, mendiskusikan manusia, Tuhan serta
alam semesta.
Pembicaraan
tentang ‘irfan atau makrifat di
kalangan sufi dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat
menonjol membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri. Sementara Al-Ghazali
diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara intens.
B.
Tokoh-Tokoh dalam Tasawuf Irfani
1. Rabi’ah Al-Adawiyah Al-Mahabbah
(Al-Hubb Al-Ilahi)
Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah
binti Ismail Al Adawiyah Al Bashriyah Al Qaisiyah. Para ahli sejarah
memperkirakan Rabiah Al Adawiyah lahir sekitar tahun 95H atau 96 11/713 M. Ia dilahirkan
di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu. Ada yang
mengatakan bahwa rabiah wafat tahun 135 H dan adapula yangmengatakan tahun
18511)801 M.
Rabi’ah Adawiyah adalah salah
seorang perampuan Sufi yang mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah
kepada Allah. Seorang wanita yang alur kehidupannya tidak seperti wanita pada
umumnya, Ia terisolasi dalam dunia mistisme jauh dan hal-hal duniawi. Tidak ada
sesuatu yang Iebih dicintainya di dunia yang melebihi cintanya kepada Allah.
Kehidupannya seolah hanya untuk mendapatkan ridho Allah, tidak ada suatu tujuan
apapun selain itu.
Rabiah Al-adawiyah dilahirkan
ditengah keluarga miskin. Seisi rumahnya hanya dapat ditemukan barang yang
memang benar-benar diperlukan saja bahkan konon mereka tidak memiliki setetes
minyak (sejenis minyak telon) saja untuk menghangatkan perut anaknya, mereka
tidak memiliki lampu untuk menerangi rumahnya. Ayahnya hanya bekerja mengangkut
penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Ayah Rabiah
Adawiyah pantang untuk meminta-minta kepada orang lain walaupun kondisi
ekonominya ditengah kehancuran dan mendekati kesengsaraan.
Ayah Rabiah bernama Ismail, nama
yang tidak begitu dikenal di wilayahnya, jauh dari keheidupan gemerlap kota
Basra yang saat itu merupakan kota besar. Lebih baik mati dariipada hidup
meminta-minta kepada orang lain bagi Ayah Rabiah Adawiyah. Prinsip yang melekat
dalam diri Ayah Rabiah selaku suami dari istri yang memiliki empat anak ini
begitu kuat. Sang suami selalu yakin bahwa pertolongan Allah akan segera
datang, Allah tidak pernah tertidur, Allah selalu akan menjaga dan melindungi
istrii dan anak-anaknya.
Hingga suatu ketika isterinya yang
malang menangis sedih atas keadaan keluarganya yang serba memprihatinkan lni.
Dalam keadaan yang demikian itu sang istri mengeluh kepada sang suami. Sang
suami hanya dapat menundukan kepala ke atas lutut hingga akhirnya ia terlena
dalam tidumya. Di dalam tidumya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya
“Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu
adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara
kaumku”. Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘ Gubernur
Bashrah, isa az-Zadan dan tuliskan kata-kata berikut ini diatas sehelai kertas
putih : ‘Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan
setiap malam Jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum’at tetapi engkau
lupa melakukannya. Sebagal penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini
empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’”. Ketika terjaga dari
tidurnya, ayah Rabiah mengucurkan air mata seraya bersyukur kepada Allah karena
ia yakin bahwa mimpinya adalah benar dan merupakan petunjuk dari Allah bagi
hambanya yang beriman. Ia pun segera menjalankan petunjuk sebagaimana yang
diperintahkan Nabi dalam mimpinya, ia menulis dan mengirimkannya tulisannya
kepada gubernur melalui pengurus rumah tangga istana. Tidak lama setelah sang
Gubernur mambaca surat tersebut, sang gubernur langsung mengirim utusannya
untuk membagikan uang masing-masing dua ribu dinar kepada orang-orang miskin.
Seolah terhanyut dalam kebahagian
dan sebagai bentuk ungkapan nasa syukur karena sang gubemur merasa bahwa dia
adalah orang yang istimewa di mata nabi maka ia memberikan hadiah sang empat
ribu dinar kepada ayah Rabiah Adawiyah pada awalnya. Namun, setelah beberapa
saat sang gubernur merasa tidak pantas hanya menghadiahkan uang dalam jumlah
tersebut kepada kekasih Allah. Sang gubernur pun berjanji akan memberikan
apapun yang dibutuhkan ayah Rabiah Adawiyah. Kemudian sang gubernur pergi
menemui Ayah dirumahnya dan membicarakan semua yang telah ia janjikan bagi ayah
Rabiah Adawiyah. Amir itu meminta supaya bapak Rabi’atul-adawiyyah selalu
mengunjungi beliau apabila menginginkan sesuatu karena beliau merasa beruntung
kedatangan orang yang dekat dengan Allah.
Setelah kedua orang tuanya
meninggal dunia rabi’ah Adawiyah di jual sebagai budak. Tetapi pada akhirnya ia
memperoleh kemerdekaan, menurut orang yang memilikinya, ia mempunyai cahaya
diatas kepalanya sewaktu ia beribadah, yang dapat menerangi seluruh ruangan
rumah. Setelah di bebaskan ia pergi menyendiri ke padang pasir dan memilih
hidup zahid.
Diceritakan suatu hari, tatkala
beliau pergi ke satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah dikejar oleh
orang jahat beliau lari. Tetapi malang, kakinya tergelincir dan jatuh.
Tangannya patah. Beliau berdoa kepada Allah, “Ya Allah! Aku ini orang yatim dan
abdi. Sekarang tanganku pula patah. tetapi aku tidak peduli segala itu asalkan
Kau rida denganku. tetapi nyatakanlah keridaanMu itu padaku.” Tatkala itu
terdengarlah suatu suara malaikat, “Tak mengapa semua penderitaanmu itu. Di
hari akhirat kelak kamu akan ditempatkan di peringkat yang tinggi hingga akan
Malaikat pun keheranan melihatmu.” Kemudian pergilah ia kembali kepada tuannya.
Setelah peristiwa itu, setiap malam Ia menghabiskan waktunya dengan beribadah
kepada Allah, setelah melakukan pekerjaannya. Beliau berpuasa berhari-hari.
Suatu hari, tuannya mendengar suara rayuan Rabi’atul adawiyyah di tengah malam
yang berdoa kepada Allah: “Tuhanku! Engkau lebih tahu bagaimana
aku ingin melaksanakan perintah-perintahMu dan menghambakan diriku dengan
sepenuh jiwa, wahai cahaya mataku, Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh masa
malam dan siang dengan melakukan ibadat kepadaMu. Tetapi apa yang boleh aku
perbuat kerana Kau jadikan aku hamba kepada manusia.” Tuannya melihat
cahaya terang dalam bilik Rabi’atul-adawiyyah itu, dan cahaya itu meliputi
seluruh biliknya. Pada waktu itu juga tuannya merasa berdosa jika tidak
membebaskan orang yang begitu dekat dengan Tuhannya. Sebaliknya tuan itu pula
ingin menjadi khadam kepada Rabi’atul-adawiyyah. Esoknya, Rabi’atul-adawiyyah
pun dipanggil oleh tuannya dan diberitahunya tentang keputusannya hendak
menjadi khadam itu dan Rabi’atul-adawlyyah menjadi tuan rumah atau pun jika Ia
tidak sudi bolehlah ia meninggalkan rumah itu. Rabi’atul-adawiyyah berkata
bahwa ia ingin mengasingkan dirinya dan meninggalkan rumah itu. Tuannya setuju.
Rabi’atul-adawiyyah pun pergi. Suatu ketika Rabi’atul-adawyyah pergi naik haji
ke Mekkah. Dibawanya barang-barangnya di atas seekor keledai yang telah tua.
Keledai itu mati di tengah jalan. Teman-temanya setuju hendak membawa barang
-barangnya itu tetapi beliau enggan kerana katanya dia naik haji bukan di bawah
perlindungan orang. Hanya perlindungan Allah SWT. Beliau pun tinggal seorang
diri di situ. Rabi’atuladawiyyah terus berdoa, “Oh Tuhan sekalian alam,
aku ini sendiri, lemah dan tidak berdaya. Engkau juga yang menyuruhku pergi
mengunjungi Ka ‘bah dan sekarang Engkau matikan keledaiku dan membiarkan aku
sendirian di tengah jalan.” Serta-merta dengan tidak disangka-sangka
keledai itu pun hidup kembali. Diletaknya barang-barangnya di atas keledai itu
dan terus menuju Mekkah. Sesampainya di Ka’bah, beliau pun duduk dan berdoa, “Aku
mi hanya sekepal tanah dan Ka ‘bah itu rumah yang kuat.
2. Dzu An-Nun Al-Misri
Dzu An-Nun Al-Misri adalah nama
julukan bagi orang sufi yang tinggal disekitar pertengahan abad ketiga
hijriyah. Nama lengkapnya Abu Alfaidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di
Ikhmim, dataran tinggi Mesir pada tahun 180 H./796 M. Julukan Dzn an-Nun
diberikan kepadanya sehubungan kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya.
Diantaranya dia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai nil
dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula al-Misri tidak banyak
diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Dalam
perjalanan hidupnya al-Misri selalu berpindah dari suatu tempat ketempat yang
lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah dimesir, mengunjungi Bait
Al-Maqdis, Bagdad, Makkah, Hijaz, Syiria dan lembah Kan’an. Hal ini
memungkinkanya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup
pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu Fiqih, ilmu
Hadis dan guru sufi sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari
mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hambal. Ia mengambil riwayat hadis
dari Malik, Al-Laits dan lain-lainnya.
Sebelum al-Misri sebenarnya sudah
ada guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberikan tafsiran terhadap
isarat-isarat tasawuf. Ia pun orang pertama di Mesir yang berbicara tentang
ahwal dan maqomat para wali dan orang yang pertama memberi devinisi tauhid
dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia memiliki pengaruh yang besar
terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Sehingga banyak penulis yang
menyebutkan al-Misri sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Al-Misri seorang sufi pengembara
yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya.
Keberanianya itulah yang menyebabkan harus berhadapan dengan gelombang protes
yang disertai dengan tuduhan zindik. Akibatnya ia dipanggil menghadap Khalifah
Al-Mutawakil, namun ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh
penghormatan kedudukanya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia
meninggalkan dunia yang fana ini. Dzu An-Nun Al-Misri wafat pada tahun 246 M/
856 H.
3. Abu Yazid Al-Bustami
a. Riwayat
Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami,
lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya
adalah Thaifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster,
kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk
orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Sejaka dalam
kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayi yang
dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika sang ibu memakan
makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia
remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang
patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Suatu
hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat Al-Luqman, “Berterima
kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan
hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk
menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan
Allah.
Perjalanan Abu Yazid
untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan
dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari
madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia
mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam menjalani kehidupan
zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan
sedikit sekali tidur, makan dan minum.[3]
b.
Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu
Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal
dari kata ‘faniya’, yang berate musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,
fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu
Bakar Al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendefinisikannya, “hilangnya semua keinginan
hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga
ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan
ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ke
tahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan kepada Allah, seperti
tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah
menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, ak mendengar puas dari-Nya. Maka,
diriku dicap dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan,
kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama
daripada anugerah, lebi besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku
mendapat kepuasan dalam diri-Mu...”
Jalan menuju fana’,
manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya,”Bagaimana
caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan menjawab,”Tinggalkan diri (nafsu)mu
dan kemarilah.” Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata ‘fana’
pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتَّى
فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’ berasal
dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan
berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada
Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya
merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu
juga ia sedang menjalani baqa’.
Dalam menerangkan
kaitan antara fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi menyatakan,
“Barangsiapa
meninggalkan perbuatan perbuatan tercela, maka ia sedang fana’ dari syahwatnya.
Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan
ibadah;...Barangsiapa ynag hatinya zuhud dari keduniaan, maka ia sedang fana’
dari keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya...”
Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui
tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang
ittihad ini tidak ditemukan. Apakan karena pertimbangan keselamatan jiwa atau
ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu pembahasan, merupakan
pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution,
uraian tentang itthad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis.[4]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam
ittihad,”identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi bersangkutan,
karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama
Tuhan.
Dengan fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan.
Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang
diucapkannya. Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi
ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.[5]
4. Abu Manshur Al-Hallaj
a.
Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj
adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir
di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M. Ia
tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada
seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua
tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki yang juga
seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada
Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk
menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj
karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.
b.
Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan
wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan
wujud) yang dikembang Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu denga
Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati
suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil
tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara Etimologis , kata ‘irfan
merupakan kata jadian (mashdar) dari
kata ‘arafa’ (mengenal atau
pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan
diidentikkan dengan ma’rifat sufistik. Menurut Cecep Alba pengertian
Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau
makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau
pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah).
Diantara tokoh-tokoh Tasawuf irfani adalah Rabi’atul Adawiyah, Dzu An-Nun
Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, dan Abu Manshur Al-Hallaj.
B. Kritik dan Saran
Kami
sadar bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam penulisan maupun
dalam cara penyampaian. Untuk itu, kami
mohon kritik dan sarannya untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, 2010, Fulsafat Ilmu, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Isa, Ahmad, 2001, Tokoh-tokoh
Sufi Tauladan kehidupan yang saleh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasirudin, 2009, Pendidikan
Tasawuf, Semarang: Rasail Media Group.
Solihin dkk, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
[1]
M.Sholihin & Rosihon Anwar. Ilmu
Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 2008).hlm.145
[2] Cecep
Alba. Tasawuf dan Tarekat. (Bandung :
PT Remaja Rosdakarya, 2012). Hlm. 92
[3]. Drs. Rosihon
Anwar, M. Ag, Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2000, hlm.
130-131.
[4].
Drs. Rosihon
Anwar, M. Ag, Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2000, hlm.
131-133.
[5]
. Prof. Dr. M.
Solihin, M.Ag, Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2008, hlm. 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar