Jumat, 12 Juni 2015

Makalah Akhlak/Tasawuf (Tasawuf Syi'i)



       I.            PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan aspek esoteric atau aspek batin yang harus dibedakan dari aspek eksoteric atau aspek lahir dalam islam. Tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.
Sementara itu dalam Syi’isme aspek esoteric dan aspek eksoteric menjadi samar perbedaannya, karena menurut Syi’isme aspek esoteric Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, dan dalam Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Di mana seorang pemimpin bagi Syi’i adalah seorang yang telah di beri otoritas kerohanian (esoteric), maka ia pun di kategorikan pula sebagai orang yang memiliki otoritas temporal (eksoteric). Yang mana dalam hal ini kaum Syi’ah menempatkan Ali bin Abi Thalib pada posisi ini, yakni posisi pemegang otoritas keruhanian sekaligus otoritas temporal.
Pada makalah ini akan membahas tentang tasawuf syi’i yang berfokus pada pengertian tasawuf syi’i, sejarah perkembangan tasawuf syi’i, tokoh tasawuf syi’i, karakteristik ajaran tasawuf syi’i dan hubungan antara tasawuf syi’i, tasawuf sunni dan tasawuf salafi .

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Tasawuf Syi’i?
B.     Bagaimana Perkembangan Tasawuf Syi’i?
C.     Siapa saja Tokoh pada Tasawuf Syi’i?
D.    Bagaimana Karakteristik Ajaran Tasawuf Syi’i?
E.     Bagaimana Hubungan antara Tasawuf Syi’i, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Salafi?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Syi’i
Tasawuf syi’i adalah tasawuf yang beranggapan bahwa manusia akan manunggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.[1] Hal ini sebagaimana tasawuf falsafi di mana al-Hallaj (adalah salah satu tokoh dari tasawuf filsafat) memformulasikan teorinya dalam doktrin ‘Hulul’, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara rohaniyah atau makhluk dengan al-khalik.[2]Oleh karenanya tasawuf syi’i disebut-sebut mempunyai kesaman dengan tasawuf falsafi.
     Pada tasawuf syi’i penghormatan yang berlebihan diberikan kepada Ali Bin Abi Thalib sebagai imam pertama kaum syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat bagi seorang imam adalah imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Dalam Syi’isme aspek esoteris Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, sehingga perbedaan antara eksoteris dan esoteris menjadi samar. Dalam pemahaman sufi pada umumnya hierarki vertikal dan horizontal tidak perlu bercampur. Hal inilah yang membedakannya dengan tasawuf Syi’i yang menggabungkan dua unsur esoteris dan unsur eksoteris.[3]
      Selain itu tasawuf Syi’i atau yang di sebut juga tasawuf Syi’ah, ajarannya adalah pemulyaan kepada imam secara berlebihan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menuhankan imam. Hal ini merupakan perbedaan yang cukup kontras dengan tasawuf lainnya umpamanya sunni, bahkan pada masanya Syi’i dan Sunni adalah aliran atau tasawuf yang saling bertolak belakang dalam kecintaan kepada Ali Bin Abi Thalib dan karena keruhaniannya yang unggul. Di mana Syi’i karena kecintaannya yang berlebihan pada Ali Bin Abi Thalib, sehingga membatalkan kekhalifaan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib, bahkan mengkafirkan mereka.[4]
      Selanjutnya Syi’ah menganggap bahwa pemimpin yang berhak memimpin adalah ahl-al-bait, karena hanya ahl-al-baitlah yang punya hak untuk memimpin, sehingga selama perjalanannya, Syi’ah selain dengan doktrin-doktrinnya juga memperjuangkan hak kekhalifaan ahl-al-bait. Dengan melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap kepemimpinan dinastiAmmawiyah dan Abbasiyah.

B.     Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi’i
Diluar dua aliran tasawuf (tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaqi), ada juga yang memasukkan tasawuf aliran ketiga, yaitu taswuf syi’i.[5] Kemunculan tasawuf Syi’i yang juga disebut Syi’ah adalah beriringan dengan kemunculan aliran Syi’ah itu sendiri, yang mana kita sendiri tahu, kemunculan Syi’ah adalah berkaitan dengan masalah pengganti (khalifah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifaan Abu Bakar, Umar Bin Khattab, danUsman Bin Affan.[6]
Dalam kemunculan Syi’ah ada pendapat yang mengatakan kalau kemunculan Syi’ah sudah dimulai ketika Rasulullah SAW masih hidup, namun baru muncul kepermukaan yakni pada masa pemerintahan Utsman Bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali Bin AbiThalib.[7]Yang juga di sebut-sebut sebagai permulaan timbulnya perpecahan dalam tubuh Islam, dimana kaum Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pendukung Ali bin Abi-Thalib setelah perang siffin. Setelah perang usai golongan Syi’ah banyak yang berdiam didarat Persia, yaitu suatu daratan yang terkenal dengan pemikiran persia dan falsafat yunani, maka disinilah terjadi kontak antara islam   dengan kebudayaan yunani hingga akhirnya tasawuf Syi’i banyak yang dipengaruhi oleh filsafat yunani. Karena tasawuf Syi’i telah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran persia dan falsafat yunani maka membuat tasawuf Syi’i dan tasawuf falsafi mempunyai banyak persamaan, contohnya: ajaran hulul dan tasawuf falsafi sama dengan hululnya syi’ahisma’iliyah.
Pengertian hulula dalahTuhan mengambil tempat didalam tubuh manusia.[8]Dalam perkembangan tasawuf Syi’i bertolakbelakang dengan pendapat tasawuf Sunni mengenai kedudukan Ali bin AbiThalib, alas an bahwa Nabi Muhammad SAW. Telah memberikan isyarat-isyarat otoritas kepada Ali Bin Abi Thalib lah yang mendasari pahamini, Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh  Nabi merupakan saturealitas yang diterimabaik oleh Sufi-sufi Sunni danSyi’i, namun  mereka berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal. Sebagai imam pertama kaumSyi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal.[9]
Dalam teologi bermazhab Syi’ah dan berpola piker Muktazilah, konsep-konsep tasawuf falsafi biasanya dapat diterima karena itu aliran tasawuf ini berkembang pesat dikawasan umat Islam bermazhab Syi’ah dan atau Muktazilah. Itulah alasannya kenapa tasawuf falsafi sering juga dinamai atau dinisbahkan kedalam ‘tasawufSyi’i’.[10]
Pandangan ‘union mistisisme’ inilah yang membentuk konsepsi dasar tasawuf falsafi dan banyak meng-inspirasi para sufi bermazhab falsafi atau Sufi-Filosof untuk merumuskan dan melahirkan karya-karya pemikiran tasawuf falsafi, yang terkenaldiantaranya adalah IbnuArabi, IbnuSyab’in, Al Jilli, dll.
Bertahun-tahun lamanya gerakan Syiah  hanyaberputar di Iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah merembes keberbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.[11]
PerkembanganSyi’ah, yaitu gerakan yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait ini memang cukup pesat, terlebih di kalangan masyarakat yang umumnya adalah awam dalam soal keagamaan, menjadi lahan empuk bagi gerakan-gerakan aliran sempalan untuk menggaet mereka menjadi sebuah komunitas, kelompok dan jama’ahnya.
Kaum Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin AbiThalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa perang shiffin (yakni perang anta pendukung kekholifaan Ali dan pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan), orang-orang pendukung fanatik Ali memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan Persia, yaitu suatu daratan yang terkenal banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah kontak antara budaya Islam danYunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di daerah tersebut. Ketika itu, di daratan Persia ini sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah begitu berkembang mendahului wilayah-wilayah Islam lainnya.[12]
Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemkiran-pemikiran filsafatYunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf falosofis dengan sekte ismailiyah dan Syi’ah. Sekte ismailiyah menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka.[13]Menurutnya antara kedua  kelompok terdapat keserupaan, khsusnya dalam persoalan “quthb” dan “abdal”.Bagi para sufi filososf, quth badal adalah puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu kholdun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip doktrin dari aliran isma’iliyyah tentang imam dan parawakilan[14]Dalam perkembangan tasawuf Syi’i yang cenderung kepada tasawuf Falsafi, yakni dalam pandangan tentang Tuhan.

Di dalam tradisi syi’ah, dua aliran tasawuf (tasawuf akhlaqi dan falsafi) juga diadopsi. Imam ayatollah Khomeini juga menekankan dua hal ini.Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusulhikmah, tetapi orang syi’ah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi, dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara syi’ah dengan sunni. Bahkan, banyak juga orang syi’ah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.[15]

C.    Tokoh-Tokoh pada Tasawuf Syi’i
1.      Ibnu Arabi
            Ibnu Arabi bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Beliau biasa dipanggil dengan nama Abu Bakar, Abu Muhammad, dan Abu Abdullah. Namun beliau terkenal dengan gelar Ibnu ‘Arabi Muhyiddin dan al Hatami. Ia juga mendapat gelar sebagai Syaikhul Akbar dan Sang Kibritul Ahmar. Beliau lahir pada 17 Ramadhan  560 H / 29 Juli 1165 M di kota Marsia, yaitu ibukota Andalusia Timur. Ibnu al-Arabi merupakan seorang sufi yang terkemuka, sangat sedikit sekali tokoh-tokoh spiritual muslim yang begitu terkenalnya hingga sampai ke wilayah Barat sebagaimana  yang dicapai oleh Ibnu al-Arabi. Dalam dunia islam sendiri, tampaknya tidak ada seorang tokoh pun yang begitu memiliki pegaruh yang begitu luas dan begitu dalam terhadap kehidupan intelektual masyarakatnya dalam kurun waktu lebih dari 700 tahun. Tasawuf falsafi ibnu arabi juga di kenal dengan nama tasawuf syi’I karena konsep-konsep tasawuf falsafi berkembang dari kaum syiah dan bermadzhabkan Mu’tazilah.[16]
2.      Azyumardi azra
Azyumardi azra adalah tokoh tasawuf syi’i yang tidak membedakan antara tasawuf syi’i dan sunni .Ia lebih kepada konsep mahabbah, ma’rifah,hulul,wahdatul wujud kesemuanya itu konsep dari tasawuf falsafi yang cenderung lebih spekulatif.
3.      Thabathaba’i
Muhammad Husain ath-thabatthaba’i adalah putra dari as-Sayid Muhammad bin as-Sayid Muhammad Husain ath-thabatthaba’i. Ayahnya meninggal pada 1330 (1912), ia dilahirkan di Tabriz pada 30/12/1321 H (17/3/1904 M. Ia adalah seorang ulama mufassir dan sekaligus filisof islam. [17]
Thabathaba’i mengembangkan kontribusi utamanya dalam bidang tafsir (interpretation), filsafat, dan sejarah madzhab Shi’ah. Karya utama dalam bidang filsafat adalah ulasan luasnya terhadap Asfar al-Arba’ah, magnum opus karya Mulla Sadra, yang merupakan seorang pemikir muslim besar Persia terakhir pada abad pertengahan. Di samping itu dia juga menulis secara ekstensif seputar tema-tema dalam filsafat. Pendekatannya secara humanis dapat terlihat dari ketiga karyanya; the nature of man, before the world, in this world, and after this world. Filsafatnya terfokus pada pendekatan sosiologis guna menemukan solusi atas problem-problem kemanusiaan. Dua hasil karyanya yang lain adalah kitab Bidayat al-Hikmah dan Nihayat al-Hikmah, yang terhitung sebagai karya besar dalam bidang filsafat islam.

D.    Karakteristik Ajaran Tasawuf Syi’i
      Perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kaca mata keterpengaruhan Persia oleh pemkiran-pemikiran filsafat Yunani.Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf.Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf falosofis dengan sekte ismailiyah dan Syi’ah.Sekte ismailiyah menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka.Menurutnya, kedua kelompok ini memiliki kesamaan, khususanya dalam persoaalan “quthb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb adalah puncak kaum arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin yang seperti ini mirip dengan doktrin aliran Ismailiyah tentang imam dan para wakilnya begitu juga tentang pakaian compang-camping yang disebut-sebut berasal dari imam Ali.
      Jika berbicara tentang tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan.Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i.Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka.Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.
      Sementara itu azzmardi azra tidak membedakan antar keduanya dalam persoalan tasawuf,karena tidak dikenal dalam terminologi islam mengenai tasawuf syi’i.
                        Karakteristik dari ajaran tasawuf ini adalah
·         Ajarannya lebih didasarkan atas ketajaman pemahaman dalam menganalisis kedekatan manusia dengan tuhan.
·         Lebih mengedepankan konsepsi keimanan.[18]

E.     Ajaran Tasawuf Syi’i
      Berikut ajaran-ajaran dari tasawuf syi’i :
1.       Pemujaan terhadap Sayidina Ali. 
            “Ya Ali Maddad”. Mereka mengagungkan dan memuji Sayidina Ali melebih rasulullah dan tidak menghiraukan langsung jasa-jasa Abu Bakar dan Sayidina Umar. Antara yang sangat jelas ialah melalui tokoh sufi yang sering dirujuk dan dipuja dunia sufi Timur dan Barat, Jalaluddin ar-Rumi. Katanya : 
"Telah pun ada Ali ketika alam ini mula dibentuk telah pun ada Ali ketika bumi ini dilakar dan masa pun bermula itulah Ali penakluk yang telah mencabut pintu gerbang benteng Khaibar dengan hanya satu pukulan bila saja ku renungi, ku perhatikan ufuk-ufuk alam yakinlah aku bahawa Ali berada pada segala maujudat orang yang wujudnya sejati,ketiadaannya melenyapkan alam maujud, itulah dia Ali sessungguhnya rah
asia dua alam zahir dan batin yang tersingkap pada Syamz Tabrez, itulah dia Ali(halaman 16, dipetik dari buku Ghazliyyat Syams Tabrezi) Note : Jalaluddin ar-Rumi ialah seorang ahli sufi Farsi (Iran). 
2.      Kepercayaan kepada Imam Mahdi Syiah. 
            Ibnu Taimiyyah Al-Harrani Minhaj As-Sunah Jil 4/87 mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad bin Jarir Al-Tabari, Abdullah Al-Baqi bin Qani’ dan selain daripada mereka berdua daripada ahli ilmu ansab dan sejarah mengatakan bahwa Imam Hasan Al-Askari tidak mempunyai keturunan dan penerus, manakala golongan Syiah Imamiyah yang mengakui bahwa ia mempunyai anak lelaki, mereka mendakwa bahwa ia telah memasuki sardab di Samarra sedangkan ia masih kecil, sebahagian daripada mereka mengatakan ia berusia dua tahun, ada di kalangan mereka mengatakan ia berusia tiga tahun, sebahagian daripada mereka pula mengatakan lima tahun”. 
Mana mungkin Imam Mahdi ada, tetapi tidak nampak-nampak? Dalam masa tidak sedar, kita menolak Imam Mahdi Syiah tetapi kita menerima bahawa Nabi Khidir masih hidup. Inilah perangkap dan jerat Syiah yang membuatkan kita musykil. 
3.      Para Imam bermimpi atau bertemu Allah atau menerima wahyu atau dapat ke langit. 
            Wali tasawuf beberapa kali mikraj ke langit mengalahkan rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ini mengecilkan taraf nabi kita sendiri karena nabi kita hanya sekali mikraj ke langit sedangkan wali tasawuf beberapa kali, malah ada yang beratus kali mikraj ke langit. Ada juga mendakwa menerima wahyu baru dari Allah. Yang lebih pelik, mereka berkata dapat bertemu Allah. Sampai begitu sekali racun tasawuf pada aqidah umat Islam. 
4.       Melebihkan wali dari nabi. 
            Mereka memberi syafaat, semua Imam mampu memberi syafaat. Satu lagi persamaan rapat antara sufi dan Syiah ialah melebihkan kedudukan dari nabi. Dalam keyakinan Syiah, imam-imam mereka adalah maksum sama seperti nabi, bahkan dalam banyak hal lebih baik berbanding nabi.
Buktinya:
“Wahai para nabi! Diberikan kamu gelaran sedangkan, sedangkan kepada kami diberikan apa yang tidak diberikan kepada kamu” (halaman 36, dipetik dari Insan Kamil)
6. Mempercayai para wali itu maksum. 
            Al-Imam As-Syeikh Abul Hasan asy-Syazili menyebutkan:
وَمَن لَّمْ يَتَغَلْغَلْ فِي عِلْمِنَا هَذَا، فَمَاتَ مُصِرًّا عَلَى الْكَبَائِرِ وَهُوَ لاَ يَشْعُرُ 
“Dan sesiapa yang tidak tenggelam dalam ilmu sufi kami ini, maka orang ini takut-takut nanti dia kekal meninggal dalam dosa besar, sedangkan dia tidak mengetahui.” 
Kepercayaan bahwa para wali yang telah meninggal dunia dapat memenuhi hajat dan membebaskan manusia dari berbagai kesulitan. Karena kepercayaan ini, mereka bertawasal kepada para wali yang telah meninggal dunia.
 7. Fanatik Ahlu Bait 
            Tiada Imam lain yang layak memberi syafaat di Padang Mahsyar kelak. Dalil hadis palsu yang direka syiah iaitu "Sesiapa yang tidak sempat mengenal Imamnya di mana-mana zaman ia hidup; maka ia akan MATI di dalam 72 Cabang Munafik". Lalu mengaitkan dengan hadis riwayat At-Thabarani yaitu dari Jabir ibnu Abdullah RA yang menceritakan beliau sendiri dengar dari Rasulullah SAW dalam suatu khutbah antara lain menyebut: ” Hai manusia, barang siapa membenci kami, ahlul-bait, pada Hari Kiamat Allah akan menggiringnya sebagai orang Yahudi.” Maka sesiapa yang terbaca hadis ini, lalu mereka patuh dan taat kepada ahlu al-bait yakni keturunan nabi
8. Penyelewengan Nur Muhammad 
            “Disebutkan dalam satu riwayat Allah menciptakan satu pohon kayu yang mempunyai empat dahan. Pohon kayu itu dinamakan “Syajaratul Muttaqin”. Kemudian ia menjadikan Nur Muhammad di dalam hijab daripada permata yang sangat putih seperti burung merak dan diletakkan burung merak itu di atas pohon tadi, maka bertasbihlah Nur di atas pohon itu selama 70,000 tahun.
            Setelah itu Allah menjadikan cermin malu, diletakkan cermin itu berhadapan dengannya. Bila burung merak itu menilik dirinya di dalam cermin itu, dilihatnya rupanya sangat cantik dan sangat elok. Maka malulah ia kepada Allah lalu berpeluh dan bertitiklah daripadanya enam titik peluk. Satu titik jadi roh Abu Bakar, satu titik jadi roh Umar, satu titik jadi roh Utsman, satu titik jadi roh Ali. Titik yang kelima dan keenam dijadikan bunga ros dan padi”. 
9. Silisilah atas 
            Silisilah atas yang dimaksudkan di perenggan tujuh ialah seperti berikut: 
Ali Ar-Rida memakai sufiyyah dari ayahnya Musa al-Kazim, menerima dari ayahnya Imam Ja’far As-Siidq, darinya Muhammad bin Baqir menerima dari ayahnya Imam Zainal Abidin, menerima dari ayahnya Ali bin Husain, menerima dari ayahnya Imam Husain bin Ali yang menerimanya dari ayahnya Ali bin Abi Thalib yang menerimanya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sanad ini ialah sanad Imamiah. 
            Inilah unsur-unsur Syiah yang menyerap dalam tasawuf. Sudah semestinya wali tarekat tasawuf menafikan mengambil tarekat ini dari Syiah karena ulama Sunni sendiri yang mengijazahkannya yaitu dari Imam Hasan Al-Basri. Mari kita perhatikan, semua silsilah tarekat semuanya sampai kepada Ali sama ada melalui Hasan Al-Basri mahupun cucu-cucu Ali. Contohnya Rifaiyah, Naqshahbandiah, Syaziliah, Chistiyah dan lain-lain yang mana sanadnya semua silsilah Imamiah. [19]
F.     Hubungan Tasawuf Syi’i, Sunni, dan  Falsafi
1.      Tasawuf Syi’i dan Tasawuf Sunni
Tasawuf Syi’i adalah tasawuf yang beranggapan bahwa manusia akan manunggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Hal ini sebagaimana tasawuf falsafi di mana al-Hallaj (adalah salah satu tokoh dari tasawuf filsafat) memformulasikan teorinya dalam doktrin ‘Hulul’, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara rohaniyah atau makhluk dengan al-khalik. Sehingga  tasawuf syi’i disebut-sebut mempunyai kesaman dengan tasawuf falsafi.[20]
Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaqmazmumah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’-ulama’ sufi.[21]
Tasawuf Syi’i atau yang di sebut juga tasawuf Syi’ah, ajarannya adalah pemulyaan kepada imam secara berlebihan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menuhankan imam. Hal ini merupakan perbedaan yang cukup kontras dengan tasawuf lainnya umpamanya Sunni, bahkan pada masanya Syi’i dan Sunni adalah aliran atau tasawuf yang saling bertolak belakang dalam kecintaan kepada Ali Bin Abi Thalib dan karena keruhaniannya yang unggul. Di mana Syi’i karena kecintaannya yang berlebihan pada Ali Bin Abi Thalib, sehingga membatalkan kekhalifaan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib, bahkan mengkafirkan mereka. Sedangkan sunni yang juga tidak mengurangi kecintaan kepada Ali dan tidak memungkiri keunggulan rihaninya, tetap menganggap kekhalifaan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib, karena sunni menganggap bahwa masalah kekhalifaan adalah hal yang biasa, yakni khalifah hanyalah administrator, dan ketika ia secara ruhani unggul, ini tidak dipandang sebagai syarat untuk jabatan khalifah.
Contoh mengenai otoritas kerohanian yang di berikan kepada Ali Bin Abi Thalib oleh Rasulullah SAW. menimbulkan penafsiran yang beragam atas pengertian otoritas spiritual dan temporal telah mengarahkan kepada kesalahpahaman antara Syi’ah dan Sunni juga antara elemen-elemen tertentu dalam dunia Sunni itu sendiri. Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi adalah satu realitas yang diterima baik oleh para sufi, namun berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal.
2.      Tasawuf Syi’i dan Tasawuf Falsafi
Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf Syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan imam-imam mereka, di mana tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam.[22]Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.Dalam perkembangan tasawuf Syi’i yang cenderung kepada tasawuf Falsafi, yakni dalam pandangan tentang Tuhan.
IbnuKhaldunmelihatkedekatantasawuffalosofisdengansekte ismailiyahdan Syi’ah. Menurutnya, kedua kelompok ini memiliki kesamaan, khususanya dalam persoaalan “quthb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb adalah puncak kaum arifin, sedangakan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin yang seperti ini mirip dengan doktrin aliran Ismailiyah tentang imam dan para wakilnya begitu juga tentang pakaian compang-camping yang disebut-sebut berasal dari imam Ali.
Disini Syi’ah Isma’iliyah, atau yang juga kita kenal dengan sebutan Syi’ah Sab’iyah, mengatakan bahwa imam adalah seorang yang menuntun umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat). Juga mengenai pendapatnya tentang syarat-syarat imam haruslah makshum, keharusan makshum bagi imam dapat ditelusuri dengan Pendekatan sejarah Iran pra-Islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa raja itu merupakan keturunan Tuhan; atau seorang raja adalah penguasa yang mendapat tetesan Ilahi (Devine Grase) dan dalam bahasa persianya adalah Farr-i Izadi. Oleh sebab itu seorang raja haruslah makshum.[23]
Sementara itu azzmardi azra tidak membedakan antar keduanya dalam persoalan tasawuf, karena tidak dikenal dalam terminologi islam mengenai tasawuf syi’i.
Karakteristik dari ajaran tasawuf ini adalah:
a.       Ajarannya lebih didasarkan atas ketajaman pemahaman dalam menganalisis kedekatan manusia dengan tuhan
b.      Lebih mengedepankan konsepsi keimanan. [24]


 IV.            KESIMPULAN
1.      Tasawuf syi’i adalah tasawuf yang beranggapan bahwa manusia akan manunggal dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.
2.      Pembagian tasawuf syi’i ini didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan. Ia mempunyai pemahaman tentang quth dan abdal. Quth adalah puncak kaum arifin sedangkan abdal merupakan perwakilan. Dalam tradisi syi’ah mengadopsi dua aliran yaitu akhlaqi dan falsafi. Orang syi’ah ini banyak yang menganu ttasawuf Al-ghozali,yang lebih menekankan pada tasawuf amali.
3.      Karakteristik dari ajara ntasawuf ini adalah
a.       Ajarannya lebih didasarkan atas ketajaman pemahaman dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan.
b.      Lebih mengedepankan konsepsi keimanan.
4.       *Tasawuf Syi,i dengan tandingannya yakni tasawuf Sunni, berbeda dalam pandangan tentang Ali Bin Abi Thalib, walaupun demikian keduanya tetap tidak di pisahkan pada kecintaannya kepada Ali Bin Abi Thalib.
* Mengenai kedekatan Tasawuf Syi’i dengan tasawuf Falsafi adalah pada ajaran mengenai hululnya, di mana tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam. Di sinilah persamaan di antara keduanya, yang menunjukkan kedekatannya.

    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah tentang tasawuf syi’i yang dapat kami buat.Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh mencapai kesempurnaan.Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari pembaca sangat diharapkan agar lebih baik di masa mendatang.Semoga makalah ini bermanfaat untuk semua pihak, pembaca yang budiman umumnya, dan penulis khususnya. Amin..












[5]Prof. Dr. M. Solihindandr. Rosihun Anwar, IlmuTasawuf, (Bandung: PustakaSetia, 2008), hlm. 71.
[6]Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 91.
[7]Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 92.
[8]http://www.scribd.com/aindosat, di aksespada 27-04-2015, pukul 10:15 wib.
[9]Damanhuri, AkhlakTasawuf, (Banda Aceh: PENA, 2010), hlm. 36.
[10]Kaisar Biru,  http://notezone13.blogspot.com/2010/01/corak-ajaran-tasawuf.html,  di aksespada 27-04-2015, pukul 10:15 wib.
[12]M. SolihindanRosihun Anwar, IlmuTasawuf, (Bandung: PustakaSetia, 2008), hlm. 71-72
[13]Rosihon Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),hlm. 54.
[14]Taftazani, Sufi dariZamankeZaman, hlm. 192.
[15]AzyumardiAzra, PersamaandalamTasawuf, dalamwww.abatasya.net. diaksespada 27-04-2015, pukul 14:17 wib.
[16]William C. Chittick. Sufi path of knowledge: Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby.(Yogyakarta: Qalam,2001) ce. I,  hal. 4
[17] Sayid Muhammad thabathabai, Terjemah Tafsir Mizan, (Jakarta: Lentera,2010 ) cet. I, Hlm. 11.

[23]http://mankazand.blogspot.com/2011/05/tasawuf-sii.htmll (Diaksestanggal 27April 2015, pukul 20:00)
                                                                                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar